puyang atung
Pendahulan
Diantara beragam versi tentang Legenda 'Puyang Atung Bungsu', maka kami berinisiatif untuk membuka sedikit wacana ini menurut catatan yang ada pada silsilah keluarga kami. Artikel ini hanya sekedar sharing saja, bukan untuk di perdebatkan. Jika ada pembaca yang lebih paham tentang Legenda ini, kami persilahkan untuk mengkoreksinya dan meluruskan. Sepanjang hal itu dapat menambah nilai-nilai kebersamaan, serumpun dan seketurunan guna menjaga nasab dari pelaku sejarah yang menjadi Legenda Sumatera Selatan ini.
Kisah Singkat
Puyang Atung Bungsu merupakan anak ketujuh puyang Kurungan Dewa, dari tujuh orang bersaudara. Berdomisili semula di bumi Kute Aji Mentare Rambang, bagian wilayah kerajaan Sriwijaya. Berdasarkan tulisan tangan dari saudara kami, bahwa beliau merupakan puyang dari suku Pasemah atau Besemah.
Beliau hijrah dati tanah Rambang ke tanah Besemah. Dan beliau merupakan putra bungsu dari puyang Kurungan Dewa disebut juga Kurungan Diwe. Diwe bahasa setempat berarti dewa. Anak keturunan beliau selain di bumi besemah, juga tersebar di bumi Semende Darat, di bumi Semende Lembak, di bumi Kisam, di bumi Rebang - Kasui Lampung Utara, disepanjang sungai Lematang dan Padang Gucim Desa Selemen dan Penyandingan kabupaten Ogan Komering Ulu.
Anak keturunan
Puyang Atung Bunsgu mempunyai anak keturunan saat ini dikenal dengan sukur Besemah. Istilah Besemah sering juga disebut dengan Pasemah. Sebenarnya, istilah ini tidak tepat, Pasemah (Pasumah, Passumah), kata Bastari salah seorang tokoh masyarakat, adalah istilah yang digunakan oleh orang kolonial seperti Inggeris dan Belanda. "Mungkin karena lidah mereka tidak bisa menyebut kata Besemah," kata Bastari yang pandai menyenandungkan guritan dan tadut, sastra tutur (semacam puisi dan prosa lirys) dari Besemah.
Besemah, lanjut Bastari, terdiri dari kata "be" dan "semah". Be berati ada, sedangkan "semah" adalah nama ikan yang hidup di sungai di sekitar gunung Dempo dan Hulu Sungai Musi. Jadi, Besemah adalah sungai yang ada ikan semahnya. Istilah Besemah sendiri, lanjut Bastari, diberikan oleh seorang puyang (leluhur) yang bernama Atung Bungsu. Suatu ketika masa lampau, puyang Atung Bungsu menemukan ikan semah di sungai Lematang, dan kemudian menamakan kawasan tersebut dengan Besemah.
Keturunan inilah yang disebut Suku Bangsa Besemah, yang terdiri dari suku-suku dengan bahasa melayu berdialek "e" seperti suku Semende, Gumay, Besemah Ayik Keghuh (di kawasan Empat Lawang), Kikim, Palas Pasemah (di Lampung), Kedurang (di Bengkulu) dan beberapa suku-suku lainnya.
Komunitas Besemah
Berangkat dari mitos yang sudah melekat kuat dengan tokoh Atung Bungsu, berdasarkan cerita yang diyakini oleh sebagian masyarakat Besemah, ia telah menurunkan anak-cucunya sampai berkembang biak dan beranak-pinak membentuk suatu masyarakat genealogis tersendiri yang menjadi beberapa sumbay, sehingga melahirkan pemerintahan tradisional khas Besemah yang dinamakan Lampik Empat Merdike Duwe.
Keyakinan ini, sesuai dengan pendapat Mircea Eliade yang mengatakan, bahwa "Myth tells only of that really happened" (artinya: Mitos hanya menceritakan yang sebenarnya terjadi). Pendapat Mircea Eliade itu senada dengan pendapat Prof. Dr. James Dananjaya (1986:23), seorang ahli folklor Indonesia, menjelaskan mitos adalah cerita prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita.
Jadi bukan anak ketujuh puyang kurungan dewa ,kemugkinannya adalah Menantu beliau.Jika Jika keturunan ke tujuh Dewa kurungan itu Suami Ratu sinuhun Misiang Sajti.
BalasHapus